
Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri tentang Distribusi Guru dinilai merugikan guru karena implementasinya akan memangkas persyaratan 24 jam mengajar dan pemecatan ribuan guru honorer.
Ketua Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan, guru harus mengajar minimal 24 jam dan maksimal 40 jam untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi, (Neneng Zubaidah, Okezone, 2012).
Meningkatkan mutu pendidikan, tidak mesti dengan mewajibkan guru mengajar 24 jam per Minggu atau menghapus sebagian mata pelajaran sehingga ada guru yang dikorbankan, namun meningkatkan pendidikan yaitu dengan memberi pelatihan-pelatihan kepada guru sesuai dengan jurusannya, mengawasi mereka dengan ketat, sehingga mereka benar mengajar dengan sepenuh hati dan sesuai pengetahuannya, memberikan fasilitas yang lengkap kepada setiap sekolah yang ada di seluruh Indonesia dan memberikan kesejahteraan kepada meraka sesuai kebutuhan masa.
Peradaban pendidikan dengan menjadikan wadah pendidikan itu benar-benar tempat menimba ilmu, bukan sebagai bisnis sebagian orang, baik di tingkat pusat sampai kepada guru dan siswa itu sendiri. Para pengambil kebijakan jangan mengubah-ubah kurikulum ke kurikulum yang lain karena ingin menjadi dia sebagai konseptor dan inspirator, guru yang mengajar jangan hanya bertumpu kepada gaji, namun mereka lebih berperan dalam pendidikan, siswa yang belajarpun jangan cuma mengharap beasiswa miskin tanpa memperhatikan kualitas dan kemampuan mereka dalam menyerap isi pembelajaran.
Adab dan moral segala elemen sangat berpengaruh dalam meningkatkan mutu pendidikan, pengambil kebijakan, guru dan siswa harus memiliki adab dan moral, sehingga dalam menjalankan amanah bangsa, mereka sama-sama bertanggung jawab demi kemajuan negeri ini. Mustahil akan lahir generasi yang baik bila di dalam sistem itu dihuni oleh orang-orang yang tidak baik.
Pada tanggal 22 Oktober 2002, Pemerintah Republik Indonesia, mengundangkan UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Sejak pemberlakuan UU tersebut, guru sudah mulai enggan menghukum siswa, walau siswa tersebut berulah sebagaimana kemauannya, padahal setiap hukuman yang mereka berikan bukan membabi buta atau untuk membunuh, namun agar memotivasi siswa yang nakal agar serius.
UU Perlindungan anak, khususnya pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.Apa yang diungkapkan dalam pasal 13 ayat (1) di atas kembali ditegaskan dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
1. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Dengan adanya UU tersebut, seolah anak dibiarkan dan dimanjakan, ini menyebabkan rendahnya mutu pendidikan didaerah-daerah pedalaman dan daerah yang pernah didera konflik, karena sikap dan mental anak didaerah itu keras dan suka melawan, bahkan kalau ibu-ibu merasa kurang berharga bagi mereka.
Pribadi saya bukan melegalkan kekerasan guru kepada anak didiknya, namun ada daerah yang memang kita harus memberi efek jera kepada meraka agar mereka mau belajar, kalau kita mengajar anak-anak pilihan, mungkin denda yang demikian tidak perlu kita terapkan, tapi setiap daerah berbeda intelegensi dan kemauan anak dalam belajar, dan ini menjadi PR kita semua, apakah kita membutuhkan generasi yang handal dan berkualitas, atau generasi yang selalu dibantu saat UN.
Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara
OKEZONENEWS, 28 Mei 2014
Anda Ingin Melakukan Polling, Silahkan di PollingKita.com