
Bersama ini kami sampaikan informasi Tentang Psikolog Tanggapi Dugaan Perundungan Siswa SD: Lingkungan Sekolah Harus Lebih Peduli Sebagai berikut:
Kasus dugaan perundungan yang merenggut nyawa seorang anak kelas 2 Sekolah Dasar (SD) di Indragiri Hulu (Inhu) Riau, masih terus berproses di kepolisian. Saat ini polisi tengah memeriksa 20 saksi dan mendalami peristiwa yang terjadi akhir Mei 2025 lalu.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Riau Kombes Asep Darmawan, dikutip dari metrotvnews.com, menyatakan akan segera mengungkap penyebab kematian korban.
“Polda Riau akan merilis hasil pemeriksaan organ dalam korban bersama dokter forensik untuk mengungkap penyebab kematian korban,” kata Kombes Asep di Pekanbaru, Senin (2/6/2025).
Sebelumnya, tewasnya anak berinisial KB ini menjadi sorotan. Pasalnya, Gimson Beni Butarbutar yang merupakan ayah korban, mengungkapkan perundungan tersebut awalnya terjadi karena perbedaan agama dan suku.
“Seminggu yang lalu, dia itu sudah sering dibully. Dibilang suku ini, agama ini. Itu sebelum dia sakit. Itu biasalah karena mereka namanya anak-anak sekolah,” jelas Gimson, sebagaimana dilansir Kompas.com, Selasa (27/5/2025).
Kasie Humas Polres Inhu Aiptu Misran mengatakan pihaknya memang telah menerima laporan dari orang tua korban beberapa waktu lalu.
“Terkait beredarnya isu yang menyebutkan adanya dugaan perundungan (bullying) yang didasari unsur SARA, Polres Indragiri Hulu menegaskan bahwa hingga saat ini belum dapat dipastikan motif maupun penyebab kejadian tersebut, karena proses penyelidikan masih berlangsung,” jelasnya kepada wartawan, Sabtu (31/5/2025).
KPAI Sebut Adanya Aduan Kekerasan terhadap Anak Berbasis Intoleransi Tiap Tahun
Meski motif perundungan masih dalam pendalaman pihak kepolisian, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Adi Leksono menekankan bahwa pihaknya telah meminta intervensi dari pemerintah daerah, Dinas Pendidikan, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) untuk memberikan pendampingan psikososial, baik kepada keluarga korban maupun anak-anak saksi.
Namun, Aris mengakui adanya tren aduan tahunan yang diterima KPAI terkait kekerasan anak yang bermotif identitas.
“Setiap tahun di KPAI selalu ada aduan-aduan kekerasan terhadap anak yang latar belakangnya karena berbeda agama, ras, atau suku dan cenderung mengarah kepada kekerasan berbasis intoleransi,” jelasnya kepada KBR Media, Senin (2/6/2025).
Aris menyebut bahwa kejadian ini menandakan masih lemahnya sistem pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan.
Ia juga menekankan pentingnya membekali anak dengan “mindset kesetaraan, saling menghargai, peduli, dan tolong-menolong di tengah perbedaan,” sebagai upaya membangun budaya damai di sekolah.
“Sebenarnya, di satuan pendidikan, kan sudah dicanangkan untuk membentuk tim pencegahan penahan kekerasan di satuan pendidikan, nah ini kapasitasnya yang perlu dikuatkan kompetensi mereka terkait bagaimana melakukan langkah-langkah pencegahan yang masif, edukasi, serta kampanye anti kekerasan, anti diskriminasi, anti-intoleransi secara praktis mereka perlu kemudian diberi skill untuk melakukan kegiatan itu dan tentu harus difasilitasi oleh sekolah serta pemerintah daerah.” tandas Aris.
Puncak Gunung Es: Intoleransi di Lembaga Pendidikan
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, turut menyoroti tragedi ini sebagai “puncak dari fenomena gunung es” dari intoleransi yang berkembang secara diam-diam di lembaga pendidikan.
“Yang terjadi di Riau ini sebenarnya bisa kita gambarkan seperti puncak gunung es. Yang kelihatan hanya secuil dari gejala umum yang bersifat laten,” ungkap Halili kepada KBR Media, Senin (02/06/2025).
Menurutnya, perilaku merundung karena perbedaan, mengejek, bahkan melabeli teman dengan istilah agama yang diskriminatif bukanlah hal langka. SETARA Institute bahkan mencatat dalam survei pada Februari 2023, sekitar 5% pelajar menunjukkan kecenderungan intoleran aktif dan 0,6% telah terpapar ideologi ekstremisme kekerasan angka yang naik signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
“Faktor penyebabnya kompleks, mulai dari keluarga, pergaulan, pengaruh senior, hingga paparan media sosial yang menanamkan paham ekstrem,” tambah Halili.
Lebih mencemaskan lagi, menurutnya, fenomena intoleransi ini tidak hanya terjadi di jenjang SMA atau SMP, tetapi sudah menyusup hingga ke tingkat SD.
“Jangan hanya fokus pada angka kelulusan atau capaian akademik, tapi abaikan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat fundamental,” tandas Halili.
Toleransi, katanya, adalah kebiasaan dan sikap hidup yang harus dilatih lewat interaksi nyata sehari-hari.
“Habituasi toleransi lebih penting daripada sekadar ceramah,” ujarnya.
Halili menyebut bahwa kementerian dan lembaga negara seperti Kemendikbud, Kemenag, Kemensos, BNPT, hingga BPIP harus bersinergi menyusun kebijakan progresif untuk mencegah intoleransi di sekolah.
“Ini adalah alarm keras. Jika tidak kita tangani secara menyeluruh, maka intoleransi dan kekerasan bisa menjadi norma baru di lembaga pendidikan kita. Itu bahaya besar bagi masa depan Indonesia.”tegasnya.
Psikolog: Anak Belajar dari Lingkungan
Psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Vera Itabiliana Hadiwidjojo, menjelaskan bahwa anak-anak secara alami mengenali perbedaan tanpa memberi nilai negatif. Namun, prasangka terbentuk dari bagaimana orang dewasa sekitar menyikapi perbedaan tersebut.
“Anak mengenali perbedaan secara naluri sejak usia dini, tapi memandangnya secara netral. Prasangka muncul karena anak melihat bagaimana orang dewasa menanggapi perbedaan itu,” jelas Vera kepada KBR Media, Senin (02/06/2025).
Ia mengingatkan bahwa anak-anak sangat rentan terhadap paparan kebencian karena masih berada dalam tahap perkembangan kognitif dan emosional.
“Rentan sekali. Apa yang mereka lihat, dengar, atau alami, bisa sangat mempengaruhi cara berpikir mereka tentang siapa yang baik dan siapa yang tidak,” ujarnya.
Vera menekankan pentingnya keteladanan dari orang dewasa untuk membangun nilai toleransi.
“Ajak anak bicara soal perbedaan. Ajak anak memahami perbedaan adalah hal yang biasa dan tidak selalu berbeda itu buruk. Dan, tentu contohkan dalam perilaku nyata sehingga mereka memahami dan meniru, ” tambahnya.
Karena itu, Vera menekankan pentingnya pendidikan toleransi yang dimulai sedini mungkin. Pendidikan toleransi itu, mesti diterapkan secara menyeluruh dari rumah, sekolah, hingga komunitas.
“Mencontohkan bagaimana memperlakukan perbedaan, bagaimana menghargai satu sama lain. Contoh, tetap berinteraksi dengan baik dalam keberagaman suku atau agama. Tidak memilih-milih dengan siapa bergaul,” pungkasnya.
Demikian kami sampaikan informasi Psikolog Tanggapi Dugaan Perundungan Siswa SD: Lingkungan Sekolah Harus Lebih Peduli semoga bermanfaat.
Anda Ingin Melakukan Polling, Silahkan di PollingKita.com