
Bersama ini kami sampaikan informasi Tentang Sekolah Favorit Masih Jadi Primadona, Bisakah Pemerataan Pendidikan Terwujud? Sebagai berikut:
Hiruk-pikuk tahun ajaran baru yang kini sedang berlangsung di tahun 2025 kita kenal dengan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Seluruh calon peserta didik dari berbagai tingkatan meramaikan agenda tahunan ini, guna memulai atau melanjutkan bangku pendidikan dengan mendaftarkan diri ke sekolah-sekolah pilihan mereka. Pastinya, orang tua akan dihadapkan pada proses memilih sekolah untuk anaknya. Orang tua memainkan peran sentral dalam menentukan lembaga pendidikan yang dianggap terbaik bagi anak- anak mereka. Namun, dibalik semangat mencari pendidikan terbaik, fenomena favoritisme dalam memilih sekolah masih menjadi masalah besar yang mengakar. Banyak orang tua lebih memilih sekolah tertentu yang dianggap “favorit”, meskipun sebenarnya pemerintah telah berusaha menciptakan pemerataan pendidikan yang inklusif dan adil melalui berbagai kebijakan, salah satunya SPMB. Menghapus favoritisme ini bukanlah hal yang mudah, banyak fakta terpotret selama berlangsungnya SPMB 2025 yang menunjukkan bahwa hal tersebut masih terus terjadi.
Akar Masalah Favoritisme Sekolah
Favoritisme sekolah pada konteks pendidikan merujuk pada kecenderungan masyarakat untuk lebih memilih sekolah-sekolah tertentu yang dianggap lebih unggul dari sekolah lain. Pernyataan serupa disampaikan Jihad, dkk (2009) bahwa favoritisme pada dunia pendidikan terjadi ketika orang tua, siswa, atau masyarakat memiliki persepsi hanya sekolah tertentu yang berkualitas, lalu mengabaikan sekolah lainnya.
Sebagai contoh yang terjadi di Kota Pangkalpinang, Prov. Kep. Babel lonjakan pendaftar terjadi pada tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sebanyak 21 SDN mengalami overload (kelebihan pendaftar) pada tahun ini. Dari total 66 SDN, hanya ada 2 sekolah yang menerima pendaftar sesuai kuota, sementara 43 sekolah lainnya justru kekurangan pendaftar. Selanjutnya, di tingkat SMPN hari keempat pendaftaran telah terjadi overload di beberapa sekolah. Overload pendaftar terjadi di SMPN 1 (117,46%), SMPN 2 (126,36%), SMPN 3 (117,08%), SMPN 7 (107,14%). Sedangkan, SMPN lainnya kekurangan pendaftar seperti SMPN 4, SMPN 5, SMPN 6, SMPN 8. SMPN 9, dan SMPN 10. Hal ini menggambarkan masih adanya favoritisme dalam pemilihan sekolah yang ditunjukkan pada distribusi pendaftar yang tidak merata dan terkonsentrasi pada sekolah-sekolah tertentu saja. Bahkan, ada sekolah yang memiliki kuota daya tampung mencapai kuota maksimal setiap rombongan belajar (rombel) yaitu SD 40 murid dan SMP 45 murid. Kenyataan ini mendukung bahwa fenomena favoritisme benar-benar terjadi.
Favoritisme ini tidak terjadi begitu saja. Ada realitas yang harus kita sadari. Pertama, branding sekolah. Sekolah tertentu membangun citra positif dan reputasi yang kuat bagi institusi pendidikannya di mata masyarakat, khususnya bagi calon siswa dan orang tua. Yang melibatkan pembentukan identitas unik sekolah, termasuk nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh sekolah, visi dan misi, pengalaman yang ditawarkan, serta reputasi alumni, yang membedakannya dari sekolah lain. Dengan branding, sekolah dapat meningkatkan daya tarik, membangun loyalitas, mendapatkan dukungan, dan mencapai keunggulan kompetitif. Selain itu, sekolah yang memiliki branding, cenderung membentuk pola komunikasi yang baik dengan publik melaui media sosial, website, acara sekolah, maupun media lainnya.
Kedua, fasilitas dan sarana prasarana yang disediakan sekolah. Sekolah favorit umumnya memiliki fasilitas belajar yang lebih lengkap, misalnya laboratorium, perpustakaan, lapangan olahraga, hingga ruang kelas yang nyaman. Hal ini menjadi daya tarik sendiri bagi orang tua dan siswa, menciptakan kesan “sekolah favorit” sehingga penilaian kualitas juga dipengaruhi tampilan fisik sekolahnya. Meskipun, secara kurikulum semua sekolah negeri memiliki standar yang sama.
Ketiga, prestasi sekolah. Sekolah yang sering menjuarai kegiatan perlombaan baik akademik dan non akademik pada berbagai tindakan sering dijadikan masyarakat sebagai tolak ukur menilai kualitas pendidikan yang bagus agar dapat menjamin masa depan anaknya. Ini menciptakan magnet sosial yang kuat bagi masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut.
Keempat, keberadaan sekolah, letak geografis yang strategis dan kemudahan akses sekolah. Sebaran satuan pendidikan yang tidak merata atau bisa jadi satu-satunya yang ada di wilayah administrasi yang dituju menjadi faktor munculnya favoritisme, karena tidak adanya pilihan sekolah lain. Selain itu, sekolah yang berada di pusat kota, dekat dengan fasilitas umum dan pelayanan publik, mudah dijangkau oleh kendaraan, dan memiliki infrastruktur penunjang yang memadai cenderung menjadi pilihan utama orang tua. Hal ini mengarah pada konsentrasi siswa pada sekolah-sekolah tertentu yang dianggap lebih mudah diakses, sehingga menciptakan ketimpangan minat dan pendaftar antar sekolah, serta memperkuat kecenderungan favoritisme. Meskipun, belum tentu dibarengi dengan keunggulan akademik atau fasilitas internal yang ada.
Kelima, pengaruh lingkungan sosial. Tak jarang lingkungan sosial memiliki peran yang kuat dalam menentukan keputusan orang tua memilih sekolah untuk anaknya. Misalnya, keberadaan teman sebaya, saudara, atau tetangga yang sudah lebih dahulu bersekolah di suatu tempat sering kali mendorong orang tua untuk mengikuti jejak yang sama. Sekolah yang telah menjadi tempat belajar kerabat atau lingkungan pergaulan anak cenderung dianggap sebagai pilihan aman dan nyaman karena memberikan rasa familiar dan keterikatan sosial.
Secara holistik, faktor-faktor diatas membentuk persepsi dan menciptakan favoritisme dikalangan masyarakat khsususnya orang tua dalam pemilihan sekolah. Orang tua secara alami ingin anaknya tumbuh dan berkembang pada lingkungan yang kompetitif dan suportif. Orang tua berbondong- bondong mendaftarkan anaknya di sekolah favorit. Tak jarang, orang tua memaksa mendaftar di sekolah favorit bahkan melakukan manipulasi data domisili agar anaknya masuk ke sekolah yang diinginkan. Padahal, belum tentu sekolah lainnya tidak memiliki kapasitas pendidikan yang baik untuk anaknya. Jika tidak ditangani persepsi sekolah favorit ini akan terus mengakar dan berdampak terhadap semangat pemerataan pendidikan nasional.
Dampak Favoritisme Sekolah
Tentunya favoritisme akan memberikan dampak yang pertama, tingginya kosentrasi pendaftar di sejumlah sekolah, sementara sekolah lainnya justru mengalami kekurangan murid. Akibatnya, banyak sekolah lain yang dianggap sebagai “pilihan terakhir” atau “kurang berkualitas”, serta mengakibatkan terjadi ketimpangan dalam distribusi murid. Padahal menurut Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2025 tentang Sistem Penerimaan Murid Baru, SPMB bertujuan memberikan kesempatan yang adil bagi seluruh murid untuk mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas yang dekat dengan domisili.
Kedua, orang tua tetap bersikeras mendaftarkan anaknya ke sekolah tertentu, meskipun tidak lolos secara perangkingan pada SPMB. Taktik orang tua yang marak terjadi, yaitu sengaja tidak mencabut berkas anak untuk mendaftar di sekolah lain karena masih berharap dapat mengisi posisi yang kosong jika ada calon murid yang tidak mendaftar ulang. Orang tua beranggapan ada kemungkinan satuan pendidikan menambah rombel, atau menambah daya tampung pada rombel. Dengan alasan tingginya animo orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah tertentu, memicu polemik penambahan rombel atau daya tampung per rombel yang bermunculan. Tekanan dari masyarakat dan kemauan daerah untuk mengakomodir kebutuhan tersebut membuka peluang ini. Padahal, praktiknya tidak dibenarkan tanpa adanya analisis empiris dan praktik baik, serta kepastian secara filosofis bahwa hak peserta didik memperoleh proses pembelajaran yang berkualitas dapat terpenuhi di setiap satuan pendidikan sebagaimana dimuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Repubik Indonesia Nomor 47 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan Pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah.
Ketiga, tidak meratanya pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana antar satuan pendidikan. Sekolah yang kekurangan murid tentunya akan kekurangan sumberdaya lainnya, memicu terjadinya ketimpangan layanan pendidikan. Ini seharusnya menjadi perhatian khusus pemerintah daerah guna menyusun strategi pemerataan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Selain itu, dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/ Kota mengisyaratkan perlunya pemerintah daerah menyediakan pelayanan pendidikan dasar, minimal meliputi aksesibilitas, kualitas fasilitas dan tenaga pendidik, kapasitas kelas dan laboratorium, serta pengawasan dan pelaporan.
Berikutnya, keempat sekolah swasta tidak dapat berkembang. Sekolah swasta kerap dipandang sebagai pilihan kedua, bahkan terakhir, jika tidak diterima di sekolah negeri favorit. Kondisi ini membuat sekolah swasta kesulitan berkembang dan akses pendidikan yang adil dan merata terganggu. Padahal dalam penentuan kapasitas daya tampung satuan pendidikan dan pemerintah daerah memperhatikan ketersediaan Satuan Pendidikan Swasta di wilayahnya. Sekolah swasta yang seharusnya menjadi alternatif dan mitra strategis dalam penyelenggaraan pendidikan justru terpinggirkan, bahkan mengalami stagnasi dan ancaman gulung tikar akibat minimnya jumlah siswa.
Beberapa sekolah swasta harus menghadapi kondisi kekurangan peserta didik setiap tahunnya, kesulitan dalam memenuhi biaya operasional, serta tidak mampu bersaing dari segi kualitas karena keterbatasan sumber daya. Padahal, peran sekolah swasta dalam sistem pendidikan nasional sangat penting, terutama di wilayah-wilayah yang belum terjangkau layanan pendidikan negeri yang memadai. Disamping sekolah swasta harus meningkatkan kualitas melalui berbagai inovasi dan branding yang baik agar memiliki segmen pasar tersendiri di kalangan masyarakat, kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah juga harus memihak keberadaan sekolah swasta ini.
Menyikapi polemik ini, pemerintah dan pemerintah daerah perlu bersikap tegas dan taat terhadap pembuatan dan penerapan petunjuk teknis (juknis) atau regulasi yang disusun berkenaan dengan SPMB. Sosialisasi yang masif dari dinas terkait dan satuan pendidikan juga harus dilakukan secara terus menerus kepada orang tua (calon wali murid) yang berperan penting dalam proses SPMB ini.
Terakhir, SPMB 2025 bertujuan untuk pemerataan distribusi siswa ke sekolah-sekolah negeri. Dengan begitu, tidak ada lagi sekolah yang terlalu padat sementara sekolah lain kekurangan siswa. Hal ini menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif dan merata. Upaya pemerataan mutu pendidikan perlu terus digencarkan. Agar semua anak memiliki hak yang sama untuk belajar di sekolah yang layak dan bermutu. Setiap sekolah dapat menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya generasi masa depan bangsa tanpa harus terbebani oleh label “favorit” atau “biasa saja”.
Demikian kami sampaikan informasi Sekolah Favorit Masih Jadi Primadona, Bisakah Pemerataan Pendidikan Terwujud? semoga bermanfaat.
Anda Ingin Melakukan Polling, Silahkan di PollingKita.com